Sidang putusan dengan terdakwa Kepala Desa Jagaraga, inisial MH, di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (15/01). |
Mataram (postkotantb.com)- Setelah melalui tahapan sidang, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram akhirnya memutuskan menvonis terdakwa Kepala Desa Jagaraga inisial MH atas kasus dugaan pengerusakan handphone milik saksi pelapor alias mantan staf Desa Jagaraga, enam bulan penjara.
Ditemui usai sidang putusan Kepala Desa Jagaraga, Senin (15/01), Koordinator Institut Tranparansi Kebijakan (ITK) NTB, Achmad Sahib mengklaim, kasus yang menimpa MH tidak wajar.
Berkaca dari kasus mantan Kepala Desa Mekar Sari, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah (Loteng). Kata Sahib, mantan kepala desa tersebut didakwa dalam kasus dugaan perusakan alat berat jenis eksavator milik Tampah Hills.
"Ini kasus nilainya miliaran. Karena menyangkut alat berat," timpalnya.
Dalam persidangan di PN Praya Loteng, terdakwa mantan kepala desa divonis bebas oleh majelis hakim. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Praya akhirnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, mantan kepala desa divonis empat bulan penjara, dengan masa percobaan enam bulan. Saheb menilai, kasus yang menimpa Kepala Desa Jagaraga, MH sengaja dipaksakan. Terlebih lagi, saksi yang dihadirkan JPU PN Mataram, tidak pernah menyebut MH telah merusak handphone mantan stafnya itu.
"Ini terkesan PN Mataram, pengadilan pesanan. Kasus handphone yang harganya sekitar Rp 3 jutaan itu tindak pidana ringan, bukan tindak pidana umum," tegasnya.
Jika ditelusuri kronologis kejadian dengan jeda waktu pelaporan ulas Sahib, ditengarai ada pihak yang tidak berkepentingan yang mengintervensi dan ada skenario rekayasa.
Sehingga pihak penyidik Polres Lobar dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, tidak ada itikad baik menyelesaikan dengan kedua belah pihak atau Restorastive Justice (RJ), lantaran jauh lebih menerima masukan kepentingan dari pihak ketiga tersebut.
Padahal, ini awalnya persoalan internal antaran kades dan saksi pelapor. Ironisnya saksi pelapor tidak menyadari dirinya dimanfaatkan dan akhirnya, saksi pelapor menjadi korban. Harus menanggung resiko diberhentikan dengan tidak hormat, disebabkan tidak adanya hubungan kerja yang harmonis.
"Ada kesan bahwa kasus ini dipaksakan. Hebatnya kasus yang seharusnya Tindak pidana ringan didominasi intervensi pihak ketiga. Cukup dipahami dan berpikir realistis sajalah menyikapi persoalan ini," sindirnya.
SILANG PENDAPAT
Bukan malah legowo terdakwa MH divonis penjara, pihak keluarga dari saksi pelapor alias mantan staf Desa Jagaraga, salah satunya Herman Kisaf, sangat keberatan. Lebih-lebih, Putusan Majelis Hakim PN Mataram menurutnya, tanpa perintah eksekusi.
"Saya kecewa. Sudah vonis enam bulan tapi tanpa eksekusi. Apakah ada permainan dalam sidang ini. Kemarin saja ada kasus pengerusakan seng dipenjara," keluhnya.(RIN)
Ditemui usai sidang putusan Kepala Desa Jagaraga, Senin (15/01), Koordinator Institut Tranparansi Kebijakan (ITK) NTB, Achmad Sahib mengklaim, kasus yang menimpa MH tidak wajar.
Berkaca dari kasus mantan Kepala Desa Mekar Sari, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah (Loteng). Kata Sahib, mantan kepala desa tersebut didakwa dalam kasus dugaan perusakan alat berat jenis eksavator milik Tampah Hills.
"Ini kasus nilainya miliaran. Karena menyangkut alat berat," timpalnya.
Dalam persidangan di PN Praya Loteng, terdakwa mantan kepala desa divonis bebas oleh majelis hakim. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Praya akhirnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, mantan kepala desa divonis empat bulan penjara, dengan masa percobaan enam bulan. Saheb menilai, kasus yang menimpa Kepala Desa Jagaraga, MH sengaja dipaksakan. Terlebih lagi, saksi yang dihadirkan JPU PN Mataram, tidak pernah menyebut MH telah merusak handphone mantan stafnya itu.
"Ini terkesan PN Mataram, pengadilan pesanan. Kasus handphone yang harganya sekitar Rp 3 jutaan itu tindak pidana ringan, bukan tindak pidana umum," tegasnya.
Jika ditelusuri kronologis kejadian dengan jeda waktu pelaporan ulas Sahib, ditengarai ada pihak yang tidak berkepentingan yang mengintervensi dan ada skenario rekayasa.
Sehingga pihak penyidik Polres Lobar dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, tidak ada itikad baik menyelesaikan dengan kedua belah pihak atau Restorastive Justice (RJ), lantaran jauh lebih menerima masukan kepentingan dari pihak ketiga tersebut.
Padahal, ini awalnya persoalan internal antaran kades dan saksi pelapor. Ironisnya saksi pelapor tidak menyadari dirinya dimanfaatkan dan akhirnya, saksi pelapor menjadi korban. Harus menanggung resiko diberhentikan dengan tidak hormat, disebabkan tidak adanya hubungan kerja yang harmonis.
"Ada kesan bahwa kasus ini dipaksakan. Hebatnya kasus yang seharusnya Tindak pidana ringan didominasi intervensi pihak ketiga. Cukup dipahami dan berpikir realistis sajalah menyikapi persoalan ini," sindirnya.
SILANG PENDAPAT
Bukan malah legowo terdakwa MH divonis penjara, pihak keluarga dari saksi pelapor alias mantan staf Desa Jagaraga, salah satunya Herman Kisaf, sangat keberatan. Lebih-lebih, Putusan Majelis Hakim PN Mataram menurutnya, tanpa perintah eksekusi.
"Saya kecewa. Sudah vonis enam bulan tapi tanpa eksekusi. Apakah ada permainan dalam sidang ini. Kemarin saja ada kasus pengerusakan seng dipenjara," keluhnya.(RIN)
0 Komentar