Breaking News

Waduh! Meski Dibilang Maju, Indonesia Ternyata Tetap Terikat dengan Belanda, Simak Artikel Ilmiahnya

Dok RIN.

Mataram (postkotantb.com)-- Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mataram (Unram), kembali merilis artikel ilmiah dengan judul, pengaruh Belanda Terhadap Komoditas Perkebunan di Indonesia: Teori Perspektif Ketergantungan.

Lalu Thouriq Andika Wijaya sebagai Ketua Kelompok Pembuatan Artikel Ilmiah menuturkan, artikel ini menulis tentang ketergantungan negara dunia ketiga, terhadap sistem perekonomian internasional. Ini dapat ditelusuri dengan melihat kondisi perkebunannya.

"Seperti halnya Indonesia, sejarah ekonomi yang bergantung pada komoditas perkebunan ini didasari oleh kolonialisme Belanda," ujar Thoriq mengulas artikel ilmiahnya itu bersama anggota kelompoknya, Selasa (30/05).

Menurutnya, Pemerintahan kolonial Belanda menciptakan karakateristik perkebunan yang khas, yang terikat pada sektor produksi dan tenaga. Pertama, terikat pada sektor produksi dan tenaga  
kerja yang dimana merupakan sektor yang krusial bagi internal negara. Kedua, sektor  
ini pun turut berperan pada perdagangan global, sehingga terintegrasi oleh sistem  
perekonomian dunia.

Hal tersebut menunjukkan bahwa komoditas perkebunan, akan  
selalu terintegrasi dengan ekonomi internasional, walau dengan mekanisme dan manuver yang berbeda. Belanda mengeksploitasi berbagai macam  
komoditas yang ada di nusantara. Belanda juga memonopoli perdagangan dengan  
membentuk kongsi dagang. Yaitu Vereenigde Indishe Compagnie (VOC).

"Ini dibentuk dengan maksud agar negara jajahan yang dalam hal ini Indonesia  
memiliki ketergantungan terhadap Belanda, dalam mengatur jalannya perdagangan," imbuhnya.

Wewenang eksklusif pun diberikan kepada VOC oleh gabungan perseroan, dengan  
tujuan untuk berdagang, mengadakan peperangan dan perdamaian, memiliki  
angkatan perang di laut maupun di darat, serta membuat perjanjian di seluruh Asia.  
Terdapat tujuh belas orang atau yang sering dikenal dengan istilah Heeren Zeventie.

"Mereka adalah orang-orang yang menjadi pimpinan VOC. Delapan orang berasal  
dari Amsterdam, dan di sana pula markas besar VOC dibangun. VOC memiliki  
modal yang sangat besar karena pamornya sebagai organisasi dagang yang paling  
maju, yaitu sekitar 6,5 juta guilders," bebernya.

Selain itu, VOC mampu mengirimkan lebih dari 12 kapal setiap tahunnya dalam 3 tahun pertama. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh organisasi dagang ini, membuat VOC dengan mudah mendapatkan posisi yang mutlak dalam inter Asean trade and shipping.

"Dengan kekuatan dan pengaruh  
sebesar ini, maka VOC menjalankan politik monopoli dalam perdagangan yang  
merupakan ciri khas kapitalisme (Idris, 2018, red). Petani dipaksa menanam hasil perkebunan yang saat itu ramai di  
perdagangan global. Hal ini kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa," bebernya.

"Sistem  tanam paksa pertama kali diperkenalkan di daerah Jawa kemudian dikembangkan di daerah pendudukan kolonial Belanda lainnya. Sistem tanam paksa ini sungguh menyengsarakan rakyat. Pada masa ini perdagangan hasil perkebunan laku keras di pasar global. Tak heran hasil penjualan dari komoditas tanam paksa ini bahkan bisa membayarkan seluruh hutang VOC, yang dimana merupakan perusahaan terkaya di dunia," sambungnya.

Senada disampaikan Salah satu anggota kelompok pembuatan artikel ilmiah, Filza Fidiah Audita. Dia pun menyebut, Pendekatan analisis ketergantungan dalam bidang perkebunan berbeda antara masa kolonial dengan masa sekarang.

Jika pada masa kolonial pendekatan lebih pada dimensi ekonomi, maka pada masa sekarang, porsi sosial-politik merupakan dasar analisis yang lebih tepat digunakan untuk melihat fenomena ketergantungan yang terjadi.

Tangan-tangan elit yang berada di center of periphery memainkan perannya dalam perdagangan. Di sisi lain, lanjut Filza, Kajian ini mendapat porsi tersendiri, dalam ranah teori dependensi modern yang memusatkan perhatian pada  
dimensi sosial-politik dari kondisi ketergantungan negara Dunia Ketigaya  
(Purwandari, 2011).
 
"Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah menjadi negara yang merdeka. Namun tidak demikian dengan kondisi serta situasi yang masih berlangsung sejak saat itu dimana dalam praktiknya Indonesia belum juga terbebas dari Belanda dan DISA, dalam urusan pemberian dan perhatian sepenuhnya terhadap pembangunan ekonomi," katanya.

Selain itu juga selama periode dekade tahun 1950-an hingga tahun 1965 silam,  
Indonesia masih mengalami stagnansi dalam urusan gejola politik domestik,
disertai beberapa pergejolakan di sejumlah daerah seperti Sumatera dan Sulawesi  
(Ika & Zulkifli, 2020). Disamping itu juga, mengacu pada keterikatan atas suatu  
fenomena ketergantungan Indonesia pada komoditas perkebunan pada suatu  
ketergantungan.

Fenomena ketergantungan yang dimaksud, adalah bagaimana proses terjalin dan  
sejarah ekonomi Indonesia sejak masa kolonial dalam urusan ketergantungan pada sektor komoditas, misalnya dalam hal perkebunan. Perjalanan sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan sektor komoditas yaitu perkebunan selalu diikat oleh ekonomi internasional, akan tetapi melalui mekanisme yang tentu berbeda-beda pada setiap zamannya.

"Contohnya, pada zaman kolonial adanya hubungan perkebunan terhadap dunia internasional yang relatif secara langsung. Perkebunan-perkebunan yang ada pada Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, membawa aliran bahan mentah yang dijual secara langsung ke perdagangan internasional hanya melalui kelompok para penjajah," terangnya.

Menurutnya, Keberadaan teori ketergantungan menjadikan pembahasan ini memiliki analisa dan alur pemikiran yang terstruktur ketika melihat perjalalan ketergantungan Indonesia dan Belanda. Ketergantungan Indonesia terhadap belanda telah dimulai pada saat era kolonialisme.

Belanda kala itu mengeksploitasi berbagai macam komoditas Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. VOC dibentuk kala itu bertujuan untuk memaksa negara jajahan bergantung dalam proses penjualan segala jenis bahan komoditas yang ada di Indonesia. Para petani pribumi dipaksa untuk bertani dan menjual hasil bumi kepada VOC dengan harga yang sangat rendah sampai tidak memiliki harga.

Tidak hanya itu. di era kolonialisme, belanda menciptakan sistem tanam paksa, dimana rakyat Indonesia kala itu dipaksa untuk menanam komoditas yang memiliki harga jual tinggi di pasaran. Belanda menerapkan strategi pemberian tanah dimana penduduk pribumi dipaksa untuk menanam segala jenis tanaman yang diinginkan oleh Belanda.

Ketergantungan Indonesia terhadap belanda sejatinya telah dimulai era kolonialisme. Dimana ketergantunggan tersebut diciptakan oleh negara maju dengan menggunakan strategi yang membuat negara dunia ketiga terus mengikuti kehendak negara maju
(Purwandari, 2011, red).

"Penjelasan tersebut bila berpikir dalam kerangka pemikiran mode ketergantungan maka untuk melihat hubungan antara Belanda dan Indonesia dalam hal komoditas ini tentu merupakan suatu hal yang telah terjadi sejak zaman kolonialisme. Keterikatan Indonesia sebagai negara bekas jajahan tidak dapat  
ditutupi. Sebab pasca merdeka Indonesia pun mengharuskan Indonesia agar memilih menggunakan bantuan-bantuan luar negeri terhadap negara maju demi menopang  
kekuatan politik baik pada sektor ekonomi," jelasnya.
 
Sektor komoditas perkebunan, sebut Filza, menjadi salah satu wujud dari keterkaitannya suatu pembangunan, yaitu ketergantungan dalam urusan pembangunan ekonomi negara. Sejarah perkebunan Negara Dunia Ketiga (negara berkembang) sudah pasti  tidak dapat dipisahkan perkembangan ekonominya melalui masa kolonialisme.
 
Berdasarkan sejarah, telah tercatat menunjukkan sistem tanam paksa yang pernah berlaku sejak masa penjajahan Belanda telah mencerminkan titik tolak proses keterbelakangan dan kemiskinan ekonomi rakyat Indonesia (Hastuti, 2019). Oleh karena itu, mewarisi sikap dan prosedur.

Dalam hal, perkebunan dimasa kolonial beserta monokultur ini menjadi titik awal atas upaya investasi yang telah  
berlangsung sejak kolonialisasi, untuk memenuhi pasar eropa termasuk hingga pasca kemerdekaannya.

Sedangkan Gusti Bagus Nauval menilai, karakteristik komoditas perkebunan lebih mengutamakan pada pengiriman dalam bentuk raw material yang telah menggambarkan ciri dari komoditas industri.

Keadaan ini, tentu menyebabkan rasa keberatan bagi negara-negara penyedia bahan, seperti halnya Indonesia. sebab harga riil komoditas perkebunan  
petani maupun rakyat telah berfluktuasi dengan grafik yang semakin menurun sejak ratusan tahun lalu.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaan hilir yang dikuasai oleh negara-negara industri maju yang menyebabkan ketimpangan terhadap negara penyedia dengan negara penghasil bahan baku yang asimetris.

"Terkait konteksnya, perkebunan Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga dengan negara maju telah berjalan secara beriringan juga pencapaian pertumbuhan  
sub-sektor perkebunan, dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan,  
bahan baku pada sistem produksi, hingga sistem diperdagangkan," ujarnya.

Hubungan yang dapat dijalankan Indonesia, meliputi keadaan ketergantungan ini dalam dijalani dalam bentuk hubungan luar negeri yang dapat memungkinkan Indonesia, agar mampu memperkuat serta meningkatkan sistem produksi dengan syarat mendapatkan bantuan segi teknis yang meliputi, ekonomi negara maju hingga sumber  
infrastrukur.

Keberadaan pilihan sumber permodalan juga dapat dikatakan sebagai sebuah pilihan, melalui pinjaman dana luar negeri atau berdasarkan lembaga  
keuangan internasional. Misalnya melalui peranan International Monetary Fund  
(IMF). Jika dilihat dari perkembangannya sejak masa kolonialisasi hingga pasca  
kemerdekaan Indonesia bahkan hingga saat ini, bahwa sektor komoditas pada perkebunan menjadi sektor yang penting dalam memperkuat perekonomian Indonesia.

"Akan tetapi tantangan selanjutnya adalah terciptanya sebuah ketergantungan antara negara-negara produsen dengan negara maju seperti kasus Indonesia dan Belanda (Purwandari, 2011). Lebih spesifiknya dalam urusan komoditas hubungan antara negara maju, dengan negara produsen ialah pada perkebunan teh dan tebu. Faktanya, perkebunan teh merupakan komoditas yang cukup banyak dikuasai oleh perkebunan swasta besar di beberapa Negara Dunia Ketiga yang umumnya sebagai negara produsen," rincinya.
 
Sementara itu, Nyoman Angga mengungkapkan, sejarah telah mencatat bahwa perjalanan komoditas perkebunan teh sebagai ekonomi internasional, dianggap sebagai perkebunan yang memiliki nilai ekonomi sejak tahun 1720-an (Purwandari, 2011).

Karena teh memiliki struktur pasar yang terbilang bebas, berbeda dengan komoditas perkebunan lainnya seperti tebu. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan bagi negara-negara produsen ialah munculnya masalah keterbelakangan, dalam hal ini merupakan dampak dari sebuah ketergantungan Negara Dunia Ketiga.

Dalam dunia industrialisasi sektor komoditas ekonomi, dalam memenuhi standar ekspor, maka tenaga kerja menjadi efek oleh eksploitasi besar-besaran. Keadaan tersebut terjadi di Indonesia pasca merdeka. Kondisi tersebut  
membentuk pola produksi teh oleh perkebunan-perkebunan besar di Indonesia menciptakan aliansi dengan perusahaan multinasional atau perusahaan  
internasional. sedangkan buruh atau sektor ketenagakerjaan menjadi paling  
terdampak.

"Dapat disimpulkan bahwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang  
memiliki ketergantungan terhadap komoditas perkebunan. Dimana, hal ini
dilatarbelakangi oleh peristiwa masa lalu yang kelam, yaitu adanya kolonialisme  
Belanda. Pada masa kolonialisme, Belanda dengan sengaja menciptakan ketergantungan Indonesia pada perkebunan melalui pengeksploitasian berbagai macam jenis komoditas," ungkap Nyoman.

Novila Aulia Rohima menambahkan, bahwa Komoditas perkebunan yang ada di Indonesia menghasilkan barang mentah, yang nantinya dijual langsung ke perdagangan internasional, melalui penjajah. Maka dari itu, pada peristiwa yang dialami oleh Indonesia tersebut dapat dilihat melalui teori ketergantungan. Teori ketergantungan hadir untuk menjelaskan letak negara berkembang mengalami ketergantungan kepada negara maju.

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berada di bawah tekanan perusahaan-perusahaan asing dalam hal teknologi, modal, harga, dan tenaga ahli. Perkebunan menjadi sarana bagi perusahaan internasional untuk  
menjaga dominasi ekonomi. Teori ketergantungan dapat digunakan untuk meninjau ketergantungan Indonesia terhadap Belanda yang telah ada sejak masa kolonialisme.
 
"Pada masa kolonialisme, pribumi dipaksa untuk kerja dan bertani yang nantinya  
dijual pada VOC, dengan harga yang lebih murah. Belanda juga terkenal dengan  
sistem tanam paksanya terhadap Indonesia dan memberikan tanah pada pribumi untuk menanamkan komoditas yang diinginkan oleh Belanda. Jadi, dalam  
penjelasan tersebut telah menunjukkan bahwa hubungan antara Indonesia belanda telah ada sejak masa kolonialisme," ketusnya.

Hal yang sama disampaikan Zahratul Kamila. Dia menilai bahwa hal itulah yang dapat mendorong ketergantungan Indonesia terhadap Belanda. Selain itu juga, Indonesia sebagai negara yang dijajah pastinya membutuhkan bantuan luar negeri terhadap negara-negara maju untuk dapat memperkuat perekonomiannya.

Pemeliharaan perkebunan menekankan ketergantungan yang tinggi dan menciptakan ketimpangan antara  
petani kecil dan elit, serta adanya ketergantungan pada sistem ekonomi perkebunan, khususnya melalui perkebunan tebu dan teh.

Sektor perkebunan menjadi sektor yang berperan penting untuk memperkuat perekonomian Indonesia, tetapi hal tersebut juga dapat menimbulkan ketergantungan seperti yang terjadi pada Indonesia dan Belanda.

Oleh karena itu melalui peristiwa tersebut, untuk mengurangi ketergantungan dapat dilakukan dengan menciptakan bagian pengelolaan yang dapat saling menguntungkan di antara produsen dan konsumen dan meningkatkan kemakmuran para petani perkebunan. Selain itu juga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

"Terutama di bidang komoditas perkebunan agar dapat dengan mudah mengembangkan perkebunan yang ada di Indonesia, sehingga hal tersebut dapat mengurangi ketergantungannya terhadap negara-negara," tutupnya.(RIN)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close